Blog Yanti Gobel

Ilmu dan Amal Padu Mengabdi

RPP Tembakau dan Kebijakan Kesehatan

Sebagai turunan dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, saat ini Kementerian Kesehatan disibukkan dengan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif atau sering disebut RPP Tembakau. Posisi RPP tersebut saat ini sedang dibahas antar departemen dibawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Agung Laksono. Kementerian yang terlibat dalam pembahasan RPP Tembakau adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan serta Kementerian Komunikasi dan Informasi.
RPP Tembakau seharusnya selesai dibahas dan ditetapkan sebagai PP maksimal 13 Oktober 2010. Berdasarkan UU Kesehatan No 36/2009, semua peraturan pelaksanaan UU sudah harus selesai paling lambat satu tahun sejak tanggal diundangkan. Sementara perintah UU terhadap RPP Tembakau tepatnya pada Pasal 116 UU No. 36/2009 yang menyatakan bahwa pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sebagai menteri baru, Menkes Endang Sedyaningsih mendapatkan tugas baru dalam merumuskan kebijakan kesehatan yang cukup strategis dan sudah lama menjadi agenda dan isu kesehatan masyarakat yakni bahaya rokok bagi kesehatan. Bila pada masa Siti Fadilah Supari kebijakannya sangat jelas melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya rokok yang tercermin dalam UU Kesehatan yang baru (UU No 36/2009). Maka kini saatnya publik menilai kinerja Endang Sedyaningsih kinerjanya yang berkaitan dengan isu rokok dan kesehatan masyarakat.
Salah satu isi draft RPP Tembakau yang krusial adalah perusahaan rokok dilarang untuk menerbitkan iklan rokok dalam bentuk apapun dan dilarang mensponsori acara. Penjualan rokok juga dibatasi dan semakin diperketat seperti larangan dikonsumsi anak usia dibawah 18 tahun dan larangan untuk perempuan yang sedang hamil serta larangan dijual secara eceran.
Draft itu langsung mendapat resistensi dari pengusaha rokok dan petani tembakau atas nama Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) karena terkait dengan pekerjaan dan sumber penghidupan sebagian rakyat. Berdasarkan data KADIN 2008, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh pabrik rokok nasional sekitar 600 ribu orang. Sebanyak 304.964 orang diantaranya terserap di kategori industri rokok kelas menengah dan kelas atas, sedang 185.826 pada perusahaan kecil dan sisanya pada perusahaan rumah tangga sebanyak 79.342 orang.
Tinjauan Sosiologis
Sebagai sebuah kebijakan publik dibidang kesehatan, semestinya RPP Tembakau memperhatikan kondisi sosiologis terkait dengan pengendalian rokok. Kondisi sosiologis tersebut diantaranya adalah pernyataan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan haram terhadap rokok dan adanya penemuan kandungan babi pada rokok. Bila fatwa haram Muhammadiyah adalah isu local atau isu domestik maka temuan kandungan babi adalah isu global yang dinyatakan oleh seorang professor kesehatan masyarakat dari University of Sidney, Prof Simon Chapman.
Sebagai isu lokal, keluarnya fatwa haram merokok oleh PP Muhammadiyah semoga dilandasi oleh pemikiran yang jernih untuk menyelamatkan kesehatan masyarakat. Sebagai sebuah produk hukum Islam, fatwa senantiasa dilandasi oleh khazanah hukum fiqih seperti dalam rangka menjaga agama (hifzu al-din), menjaga jiwa (hifzu al-nas), menjaga harta (hifzu al-maal), menjaga keturunan (hifzu al-nasl) dan menjaga akal (hifzu al-aql).
Dalam amar keputusan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bernomor 6/SMOTT/III/2010 itu menyebutkan bahwa wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya kondisi hidup sehat yang merupakan hak setiap orang. Fatwa keharaman rokok didasari oleh argument syar’i meliputi argumen ijtihad bayani dan ijtihad ta’lili (kausasi). Salah satu argument bayani adalah larangan membunuh diri sendiri sebagaimana dinyatakan dalam Surah An-Nisa ayat 29. Sementara argument ta’lili adalah konsumsi rokok bertentangan dengan beberapa tujuan syariah seperti perlindungan diri, perlindungan keluarga dan perlindungan harta. Fatwa tersebut dibacakan oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Prof Dr. Yunahar Ilyas di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta pada Selasa (9/02/2010) lalu.
Sedang isu babi dalam kandungan rokok mengacu pada penemuan dalam riset Prof Chapman yang berhasil mengidentifikasi 185 penggunaan bagian dari babi, termasuk dalam pembuatan filter rokok. Darah babi ini ditengarai sangat efektif menyaring racun kimia sebelum asap masuk paru-paru sehingga digunakan pada rokok filter. Darah babi ditemukan pada salah satu merk rokok yang dijual di Yunani. Meski temuan ini tidak berlaku pada rokok yang tidak menggunakan filter, tapi temuan baru ini membuka tabir kepalsuan dan ketidakjujuran industriawan rokok yang tidak mencantumkan komposisi dalam rokok. Padahal isu babi sangat sensitif pada dua pemeluk agama besar dunia yakni penganut Islam dan Yahudi.
Disamping dua peristiwa sosial diatas, secara ilmiah tembakau mendatangkan dampak negative terhadap kesehatan dari aktifitas merokok karena mengandung 43 bahan penyebab kanker dan lebih dari empat ribu bahan kimia didalam sebatang rokok. Pada aspek korban akibat rokok, bila mengacu pada data The Global Youth Survey 2006 menemukan fakta dilapangan bahwa 85,4% perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Bahkan 6 dari 10 pelajar (64,2%) yang disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah atau lebih 43 juta anak Indonesia serumah dengan perokok dan terpapar asap tembakau. Lebih dari sepertiga (37,3%) merokok, bahkan 3 diantara 10 pelajar atau 30,9% pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun.
Ketiga fakta sosial diatas seyogyanya menjadi salah satu acuan bagi para pihak yang terlibat dalam penyusunan RPP Tembakau. Artinya ditinjau dari perpesktif global dan lokal sedang berkembang desakan untuk mengurangi dampak negatif dari tembakau dan lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat.
Partisipasi Masyarakat
Sebagai negara demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan syarat dalam setiap pembuatan kebijakan publik. Dalam Pasal 53 UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, partisipasi masyarakat bisa lisan maupun tulisan. Dengan demikian, penulisan artikel inipun bisa dikategorikan sebagai partisipasi masyarakat dalam bentuk tulisan yang diharapkan diakomodasi dalam perumusan RPP Tembakau.
Dalam sebuah rilis yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan dan ditampilkan dalam website resmi http://www.depkes.go.id, dijanjikan bahwa pada suatu saat masyarakat akan dilibatkan dalam tahapan penyempurnaan RPP. Tahapan tersebut disebutnya sesuai dengan Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Peraturan perundang-undangan. Rilis tersebut menyebutkan organisasi masyarakat yang akan diundang seperti Komnas Anak, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), AMTI, APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia), GAPRI (Gabungan Pengusaha Rokok Indonesia), organisasi profesi kesehatan dan organisasi masyarakat peduli bahaya rokok.
Disebutnya organisasi profesi kesehatan secara umum akan menjadi problem tersendiri karena saat ini berkembang banyak organisasi profesi kesehatan. Para alumni sekolah kesehatan masyarakat saat ini secara umum berasosiasi dalam PERSAKMI (Persatuan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia) dan IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia). Sementara sub disiplin kesehatan masyarakat seperti epidemiologi juga terdapat organisasi PAEI (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia) dan Masyarakat Epidemiologi Indonesia (MEI).
Jika Kementerian Kesehatan melibatkan kelompok organisasi pro tembakau seperti AMTI, APTI dan GAPRI, maka demi keadilan dan keseimbangan aspirasi, wacana dan pemikiran seharusnya melibatkan pula organisasi profesi kesehatan seperti yang telah disebutkan diatas. Tidak sekedar menyebutkan organisasi profesi kesehatan tanpa menyebut nama organisasinya secara lengkap karena berpotensi mengecilkan suara dan aspirasi masyarakat anti rokok.

11 Mei 2010 Posted by | Uncategorized | , , , , | 2 Komentar

Jejak Prof Najib Bustan, MPH Dalam Studi Epidemiologi di Indonesia

Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, teringat pada seorang pendidik yang menjadi guru saya dalam kesehatan masyarakat. Sosok tersebut adalah Prof Dr. Muh. Najib Bustan, MPH, seorang pakar dalam bidang Epidemiologi.
Sosok Prof Najib Bustan tidak bisa dipisahkan dari keberadaan lembaga pendidikan kesehatan masyarakat di Indonesia yang masih tergolong baru, meski secara keilmuan sudah relatif telah berlangsung lama didalam displin ilmu kedokteran. Lembaga pendidikan kesehatan masyarakat pada perguruan tinggi pada umumnya bernama Fakultas Kesehatan Masyarakat atau Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan.
Disiplin ilmu yang menjadi induk ilmu kesehatan masyarakat adalah Epidemiologi. Banyak defenisi dikemukakan para pakar Epidemiologi tentang Epidemiologi itu sendiri. Salah satu pakar Epidemiologi di Indonesia yang sangat berjasa memajukan disiplin ilmu ini adalah Prof Dr. Muh. Najib Bustan, MPH mengemukakan bahwa epidemiologi adalah ilmu mengenai kejadian yang menimpa penduduk. Epidemiologi berasal dari bahasa Yunani, dimana Epid = upon, pada atau tentang; demos = people, penduduk; dan logia = knowledge, ilmu. Nama epidemiologi sendiri berkaitan dengan sejarah kelahirannya dimana epidemiologi memberikan perhatian tentang penyakit yang mengenai penduduk (epidemi).
Riwayat Kepakaran
Prof Najib Bustan mengawali karir profesionalnya sebagai dokter di Jeneponto, Sulawesi Selatan, tepatnya di Puskesmas Bontoramba dan kerjasama dengan pihak Nuffic/Erasmus University, Belanda melakukan community development di Kecamatan Tamalatea. Pada saat itu, baru saja mendapat gelar dokter pada Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengalamannya di dunia akademik bermula sebagai dosen di Bagian IKM/IKP Fakultas Kedokteran, lalu pindah ke Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS. Setelah itu, berangkat ke Thailand untuk mencari pengalaman dan belajar Tropical Medicine.
Dari Thailand, kemudian bertolak ke negeri Paman Sam untuk belajar Public Health dan memperoleh gelar MPH (Master of Public Health). Atas sponsor dari USAID, BKKBN dan DEPDIKBUD (saat ini Depdiknas), langsung melanjutkan ke program doktoralnya di University of South Carolina, Columbia dengan judul disertasi “Oral Contraceptive Use and Breast Cancer”.
Selama di Amerika Serikat, pakar epidemiologi kelahiran Sinjai, Sulawesi Selatan 3 Oktober 1952 itu pernah mengunjungi hampir seluruh sekolah kesehatan masyarakat. Berbagai kegiatan ilmiah diikutinya seperti Epidemiology Summer Cource di University of Michigan Ann Arbor dan John Hopkins University Baltimore serta APHA Meeting di Atlanta. Menjadi anggota organisasi internasional seperti APHA (American Public Health Association), SER (Society for Epidemiologic Research), ISAE (International Society for AIDS Education) dan AAAS (American Association for the Advance of Science).
Kegiatan internasional yang pernah diikutinya antara lain adalah South East Asia Clinical Epidemiology Network (SEACLEN) di Manila, WHO STD International Course di Thailand, Double Burden on Nutriotional Policy di Wageningen, Belanda serta bertugas sebagai TKHI (Tenaga Kesehatan Haji Indonesia) di Arab Saudi.
Ketika kembali ke Indonesia di kampus UNHAS Tamalanrea, Prof Najib yang hobi minum sarabba dengan singkong goreng ini terpilih menjadi Dosen Teladan FKM UNHAS pada tahun 1993. Sukses sebagai dosen teladan akhirnya diberi tugas menjadi Ketua Jurusan Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS dan Sekretaris Eksekutif Forum Kajian Epidemiologi Klinik UNHAS. Selanjutnya menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik (PD 1) FKM UNHAS, lalu menjadi Dekan FKM UNHAS, Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Pascasarjana UNHAS dan Asisten Direktur Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Indonesia Timur. Dalam organisasi profesi, Prof Najib sejak 1994 diberi amanah sebagai Ketua Umum PAEI (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia) dan pada tahun 1996 sebagai Ketua Simpul Jaringan Kesehatan dan Gizi, UNHAS. Pada tahun 2002, Prof Najib Bustan memelopori berdirinya Masyarakat Epidemiologi Indonesia (MEI).
Pada 1 Januari 1999 diangkat menjadi guru besar dalam bidang Epidemiologi. Tujuh bulan berikutnya, tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1999 membacakan pidato pengukuhan Guru Besar dengan judul “Pendekatan Epidemiologi Terhadap Musibah Kesehatan Darurat”. Sebagai pakar dalam disiplin ilmu epidemiologi kesehatan darurat, salah satu bentuknya adalah menulis buku teks untuk mata kuliah tersebut. Buku tersebut terbit tahun 2000 dan diterbitkan oleh Umitoha Ukhuwah Grafika, sebuah divisi penerbitan Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar.
Sadar akan tanggungjawabnya sebagai pakar epidemiologi, Prof Najib sangat aktif menularkan ilmunya dalam bentuk tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk buku. Pemenang Lomba Publikasi Ilmiah URGE, Dikti Depdikbud 1998 ini telah menulis beberapa buku kesehatan seperti Pengantar Epidemiologi, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Ukuran-Ukuran Epidemiologi, Praktek Epidemiologi, Panduan EPIINFO-6, Nilai Novel Sebuah Disertasi, 17 Langkah Metodologi Penulisan Penelitian Disertasi, Perjalanan Memburu Kausa dan EPidemiologi Kesehatan Darurat.
Salah satu buku monumental dalam disiplin ilmu epidemiologi adalah buku “Pengantar Epidemiologi” terbitan Rineka Cipta, Jakarta dan beredar secara nasional. Buku ini boleh disebutkan sebagai buku pertama yang diterbitkan di Indonesia yang ditulis sebagai buku pegangan bagi mahasiswa kesehatan masyarakat yang mengambil mata kuliah Pengantar Epidemiologi. Buku tersebut menjadi buku wajib bagi para mahasiswa kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia dan sekolah kesehatan masyarakat lainnya.
Spesialis Epidemiologi Bencana
Kepakaran dalam bidang Prof Najib Bustan adalah epidemiologi bencana. Hal ini terlihat dari pilihan isi pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar pada 14 Agustus 1999 lalu di Gedung Rektorat Lantai 4, Kampus UNHAS Tamalanrea. Pada prosesi pengukuhannya sebagai professor itu, putra dari pasangan H.A Bustan Petta Pampe dan H Kartini Sanusi memilih judul pidatonya, “Pendekatan Epidemiologi terhadap Musibah Kesehatan Masyarakat”.
Dalam pidatonya, suami dari Hj Kaya Junaid Bustan tersebut menyebutkan bahwa pendekatan epidemiologi telah menyumbangkan pemikiran, konsep dan upaya menanggulangi berbagai masalah kesehatan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Menurutnya, Epidemiologi telah dimanfaatkan menghadapi berbagai wabah yang telah melanda dunia mulai dari wabah kolera di London, wabah cacar dunia, wabah kolera-Eltor di negara sedang berkembang, dan yang terakhir wabah AIDS.
Enam tahun sejak pidato Prof Najib Bustan yang bersejarah itu, Indonesia dikejutkan dengan musibah gempa dan tsunami di Aceh dengan korban nyawa dan harta yang sangat besar. Setelah itu berturut-turut wilayah dilanda bencana, menyusul bencana gempa di Nias Maret 2005 (8.6 Richter), bencana gempa Yogyakarta Mei 2006 (6,2 Richter), bencana gempa Pangandaran Juli 2006 (7.8 Richter), bencana gempa di Mentawai-Bengkulu September 2007 (8.5 Richter), bencana gempa di Mentawai Agustus 2009 (6.9 Richter), bencana gempa Tasikmalaya September 2009 (7.3 Richter) dan gempa Sumatera Barat (7,6 Richter) dan terakhir bencana gempa di Maluku pada 24-25 Oktober 2009 (7,3 Richter).
Meski kini Prof Najib tidak lagi banyak beraktifitas di Kampus UNHAS akibat pergesekan politik dengan beberapa orang berpengaruh di kampus merah itu, namun jejaknya dalam dunia intelektual, khususnya disiplin ilmu epidemiologi sangat terasa. Seyogyanya pihak pemerintah pusat memanggil putra terbaik bangsa itu untuk beraktifitas didalam pemerintahan tingkat pusat, misalnya di Kementerian Kesehatan, karena keilmuannya yang sangat mumpuni dan mubazir untuk disia-siakan. Apalagi di Kementerian Kesehatan, ada lembaga yang mengurusi bencana bernama Pusat Penanggulangan Krisis yang spesifik menanggulangi bencana dari aspek kesehatan.

11 Mei 2010 Posted by | Uncategorized | , , , | 3 Komentar