Blog Yanti Gobel

Ilmu dan Amal Padu Mengabdi

Pentingnya Ilmu Psikologi Dalam Kesehatan

Secara umum kesehatan dibedakan atas kesehatan individu dan kesehatan masyarakat. Kesehatan individu tercermin dari kesehatan fisik dan kesehatan mental seseorang. Sehat secara fisik apabila seseorang merasa dirinya sehat dan dapat dibuktikan secara klinis ketika organ-organ didalam tubuh berfungsi normal. Sedangkan sehat secara mental meliputi sehat pada pikiran, emosional dan spiritual.
Kesehatan masyarakat sebagai sebuah cabang keilmuan mempelajari cara-cara pencegahan penyakit dengan mengenali faktor-faktor risiko penyakit sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara agregat. Prof. Winslow dari Yale University memberikan batasan ilmu kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan sanitasi lingkungan, kontrol infeksi di masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan, pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan pengembangan aspek sosial, yang akan mendukung agar setiap orang di masyarakat mempunyai standar kehidupan yang kuat untuk menjaga kesehatannya (Leavel and Clark, 1958).
Dalam disiplin ilmu kesehatan masyarakat, dipelajari Ilmu Perilaku untuk pendidikan kesehatan. Biasanya disebut Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP). Dalam disiplin ilmu tersebut, mempelajari pentingnya Psikologi dalam dunia Kesehatan menyangkut ilmu-ilmu perilaku kesehatan untuk memberikan kontribusi nyata kepada peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Pengembangan keilmuan dibidang Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku diarahkan kepada aspek konseptual dan aspek terapan, di antaranya metode dan teknologi pendidikan promosi kesehatan serta bidang ilmu perilaku kesehatan dengan mempertimbangkan dan mengapresiasi aspek-aspek sosial budaya masyarakat. Peminat cabang keilmuan psikologi kesehatan diharapkan memiliki kemampuan merumuskan, menganalisis, merencanakan, menerapkan dan mengevaluasi berbagai strategi, metode dan teknik promosi kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan masyarakat.
Pendekatan Perilaku Dalam Kesehatan Masyarakat
Kesehatan merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang mempengaruhi, baik secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, kesehatan dipengaruhi oleh kesehatan fisik dan kesehatan psikis, sedangkan secara eksternal dipengaruhi oleh masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan sebagainya.
Upaya penyelenggaraan kesehatan dibedakan atas tiga yakni: (1) Primary Care, sarana pemeliharaan kesehatan primer; (2) Secondary Care, sarana pemeliharaan kesehatan tingkat dua; (3) Tertiery Care, sarana pemeliharaan kesehatan tingkat tiga. Sasaran primary care seperti kepala keluarga untuk kesehatan umum, ibu hamil dan menyusui, anak usia sekolah, dan sebagainya. Sedangkan sasaran secondary care meliputi pemasyarakat tanaman obat keluarga (toga), penyuluhan cara menjaga lingkungan sehat, dan seterusnya. Sementara sasaran tertiery care adalah para penentu kebijakan bidang kesehatan, baik pada tingkat pusat maupun level daerah.
Untuk memasyarakatkan pemeliharaan kesehatan melalui pola hidup sehat, maka pendekatan ilmu perilaku sangat penting. Menurut L. Green, perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yakni faktor predisposisi, faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi meliputi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan tingkat sosial-ekonomi, dan sebagainya. Faktor pemungkin mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya ketersediaan air bersih, tempat pembuangan sampah dan tinja, ketersediaan makanan bergizi, termasuk keterjangkauan pada sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Posyandu, Polindes, dan sebagainya. Sedangkan faktor penguat mencakup faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, perilaku petugas kesehatan, serta peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan teknis dibidang kesehatan.
Untuk mempengaruhi perilaku masyarakat agar menerapkan pola hidup sehat, pendekatan pendidikan kesehatan mutlak dilakukan. Karena pada dasarnya, Pendidikan adalah sebuah proses sosialisasi ilmu dan nilai untuk mempengaruhi orang lain secara individu atau kelompok agar mau mengikuti ilmu dan nilai yang diajarkan seorang pendidik kesehatan. Unsur-unsur dalam pendidikan kesehatan untuk mempengaruhi perilaku seseorang adalah unsur input dan unsur output. Unsur input seperti sarana pendidikan dan tenaga pendidik sedang unsur output yakni proses pendidikan yang dilakukan sebagai upaya untuk mempengaruhi orang lain agar melakukan tindakan sesuai yang diharapkan petugas pendidik.
Studi Kasus Perilaku Merokok
Berbagai penelitian kesehatan tentang dampak rokok sudah banyak dilakukan para ahli kesehatan masyarakat. Namun meski telah banyak dilakukan penelitian dan sudah terbukti berdampak buruk bagi kesehatan, jumlah perokok tidak kunjung turun, utamanya dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan perilaku dalam promosi kesehatan tentang bahaya rokok.
Publikasi terbaru hasil penelitian tentang rokok dirilis pada 6 Februari 2012 dalam jurnal Archives of General Psychiatry, yang dilakukan Severine Sabia dan rekan-rekannya dari University College London. Penilaian fungsi mental para responden dilakukan selama tiga kali selama kurun waktu 10 tahun. Sedangkan penilaian status merokok responden dilakukan enam kali dalam kurun waktu 25 tahun. Usia rata-rata responden adalah sekitar 56 tahun ketika penilaian pertama dilakukan.
Hasil analisis data sekitar 5.100 pria dan lebih dari 2.100 wanita terkait fungsi mental, seperti memori, pembelajaran, dan pengolahan pikiran. Peneliti menemukan bahwa di kalangan kaum pria, merokok berhubungan dengan merosotnya kemampuan otak yang lebih cepat. Selain itu, penurunan yang lebih massif terjadi pada pria yang terus merokok selama masa penelitian. Peneliti menemukan bahwa pria yang berhenti merokok dalam 10 tahun sebelum penilaian pertama dilakukan ternyata masih berisiko mengalami penurunan mental, terutama terkait fungsi “eksekutif” pada otak. Namun, mereka yang telah berhenti merokok dalam jangka waktu lama, cenderung mengalami penurunan fungsi otak lebih lambat.
Dalam riset tersebut, Severine Sabia dan rekan-rekannya tidak menemukan hubungan antara efek merokok dan penurunan fungsi mental pada kaum wanita. Alasan untuk perbedaan jenis kelamin ini belum terungkap dengan jelas. Tetapi, hal itu mungkin berkaitan dengan fakta bahwa pria umumnya cenderung merokok lebih banyak ketimbang wanita.
Untuk merubah perilaku merokok, maka beberapa teori perilaku bisa menjadi rujukan seperti Teori Kurt Lewin, Teori Festinger, dan sebagainya. Menurut Kurt Lewin (1970), perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driven forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Pada teori Kurt Lewin, melakukan perubahan perilaku dengan cara melakukan ketidakseimbangan antara kedua kekuatan didalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan pada diri seseorang.
Ketiga kemungkinan tersebut adalah pertama, kekuatan-kekuatan pendorong meningkat; adanya stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku, seperti penyuluhan kesehatan dan bentuk-bentuk promosi kesehatan lainnya. Kedua, kekuatan-kekuatan penahan menurun; adanya stimulus yang memperlemah kekuatan penahan seperti anggapan bahwa merokok tidak mengganggu kesehatan. Anggapan yang keliru tersebut dapat memperlemah driven forces. Ketiga, kekuatan pendorong meningkat sedang kekuatan penahan menurun; kondisi inilah yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku, termasuk perilaku merokok.
Dari studi kasus perilaku merokok, maka bisa dilihat hubungan erat pentingnya Ilmu Psikologi dalam dunia kesehatan. Apalagi Ilmu Kesehatan Masyarakat yang memiliki pendekatan preventif dan promotif, maka penggunaan Psikologi sangat penting dan relevan dalam upaya-upaya pencegahan ancaman terjangkit penyakit.

28 Mei 2012 Posted by | Uncategorized | , , , | Tinggalkan komentar

Menimbang RUU Kesetaraan Gender

Saat ini sedang menguat wacana publik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Hingga bulan April 2012, masih tahap pembahasan sejak diserahkan dari Deputi Perundang-undangan DPR RI ke Komisi VIII DPR RI pada Agustus 2011 lalu.
Berbagai suara pro dan kontra mengiringi pembahasan RUU tersebut, baik didalam internal DPR maupun ditengah masyarakat. Penolakan konsep RUU tersebut lebih banyak dari kelompok kepentingan Islam karena dianggap bertentangan dengan dasar ajaran agama Islam. Bagi pihak yang kontra, RUU KKG dianggap sangat sekuler karena dibangun diatas paradigma pemikiran tentang gender ala Barat. Peradaban Barat membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Penyebaran paham “kesetaraan gender” saat ini telah menjadi program unggulan dalam proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang memanfaatkan dana-dana bantuan sejumlah LSM Barat untuk menggarap perempuan-perempuan muslimah agar memiliki paham kesetaraan gender ini. Perempuan muslimah kini didorong untuk berebut dengan laki-laki di lahan publik, dalam semua bidang.
Kritik pemikir Islam seperti Dr Adian Husaini tentang pemikiran gender ala Barat seperti kegiatan sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam kategori ‘berpartisipasi dalam pembangunan’. Dalam pelaksanaan konsep Human Development Index (HDI), perempuan dituntut berperan aktif dalam pembangunan dengan cara terjun ke berbagai sektor publik.
Dr. Ratna Megawangi dalam bukunya “Membiarkan Berbeda?” (Bandung: Mizan, 1999), menulis bahwa agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20, adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam rumah. Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau perbedaan nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik pengasuhan anak. Catatan lain menyebutkan bahwa pada awal Abad 20 ketika masa KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), diketahui bahwa perempuan sudah banyak aktif dalam organisasi Aisyiyah, tanpa mengangkat isu ketertindasan perempuan dan kesetaraan gender serta persamaan dalam semua hal.
Di negeri-negeri Muslim, telah berkembang pemikiran ekstrim dari para feminis. Misalnya Amina Wadud yang menulis buku “Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective”. Pemikir feminis sering menuduh para mufassir dan ulama fiqih laki-laki telah menyusun tafsir dan kitab fiqih yang bias gender sebab mereka berjenis kelamin laki-laki. Sebagai antitesa, pendapat para sahabat Rasulullah yang banyak digugat kaum feminis telah diterbitkan kedalam buku berjudul, “Mawsu’ah Fiqh ‘Aisyah Umm al-Mu’minin, Hayatiha wa Fiqhiha, (Dar al-Nafes, Beirut, 1993) karya Sa’id Fayiz al-Dukhayyil. Buku tersebut berupaya mengumpulkan yang ditulis pendapat-pendapat Siti Aisyah r.a. tentang masalah fiqih.
Pasal Krusial
Pasal-pasal yang dinilai krusial dalam draft RUU-Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) seperti Pasal 1 ayat 2, menyebutkan bahwa : “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” Pun Pasal 4 ayat 2 RUU ini menyebutkan: “perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 % (tiga puluh persen) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.”
Salah satu kritik terhadap RUU KKG adalah Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Sementara dalam pandangan pemikir Islam, pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam bukanlah merupakan hasil budaya, tetapi merupakan konsep wahyu. Ada riwayat pada masa Rasulullah SAW melarang seorang istri untuk keluar rumah karena dilarang suaminya meskipun untuk berziarah pada ayahnya yang meninggal dunia. Larangan Nabi itu bukanlah budaya Arab tetapi itu merupakan ajaran Islam yang berdasarkan kepada wahyu Allah SWT.
Pandangan Kesehatan dan Islam
Dari segi kesehatan, antara laki-laki dan perempuan memang dilahirkan berbeda. Temuan ilmiah perbedaan kedua jenis kelamin dapat dibuktikan misalnya dari perbedaan didalam otak. Dalam buku “The Female Brain and The Male Brain” yang ditulis oleh seorang dokter syaraf di University of California, Amerika Serikat bernama Louann Brizendine, M.D. Penelitian yang dilakukan Brizendine selama 25 tahun menemukan bahwa sejak masa kehamilan, otak laki-laki dan otak perempuan berbeda. Sel otak laki-laki memiliki kromoson Y dan otak perempuan tidak memilikinya. Hormon estrogen, progresteron, dan oksitonin didalam otak perempuan mempengaruhi sirkuit otak terhadap perilaku khas perempuan. Sedangkan laki-laki memiliki pusat otak yang lebih besar untuk tindakan yang memerlukan otot dan agresi.
Dalam pandangan keagamaan (khususnya Islam), antara perempuan dan laki-laki setara dihadapan Allah SWT, yang membedakan adalah tingkat keimanan dan amal saleh yang diperbuatnya. Dr. Katherine Bullock, seorang Doktor Filsafat Politik dari University of Toronto Kanada dalam bukunya, “Rethinking Muslim Women and The Veil, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2002),
“the principal definition of equality was how human beings stood in relation to God.” Bullock berpendapat demikian berdasarkan temuan penelitiannya pada muslimah yang ditemuinya bahwa Al-Quran menyatakan dengan tegas antara laki-laki dan perempuan adalah “setara” (equal) di hadapan Allah.
Meski demikian, Allah mengatur peran masing-masing yang berbeda didalam urusan internal (privat) maupun urusan eksternal (publik). Setiap perempuan (muslimah) yang aktif diluar rumah (publik) tetap memiliki tanggung jawab didalam rumah, baik sebagai manajer sekaligus pelayan rumah tangga, istri bagi suami, dan ibu bagi anak-anak.
Perbedaan peran dalam rumah tangga sangat jelas dalam pandangan Islam. Rasulullah SAW dalam riwayat hadis menekankan pentingnya menghormati perempuan (ibu). Ketika seorang bertanya kepada Rasul SAW, siapa yang harus dia hormati, sebanyak tiga kali, Rasul SAW menjawab: “Ibumu!” yang keempat baru dijawab: “Ayahmu!” Begitu besar peran perempuan dalam rumah tangga sehingga penghormatan lebih tinggi pada sosok seorang ibu. Meski demikian, sosok kedua orangtua dihadapan anak tetap sama-sama mendapatkan penghormatan.
Akhirul kalam, relasi gender antara laki-laki dengan perempuan sudah tercipta secara organis berbeda. Jadi biarkanlah berbeda, baik peran dan tanggungjawabnya dalam publik karena perempuan sejati adalah seorang pendidik generasi bangsa melalui pendidikan sejak dini di institusi rumah tangga.

28 Mei 2012 Posted by | Uncategorized | , , , | Tinggalkan komentar