Blog Yanti Gobel

Ilmu dan Amal Padu Mengabdi

Tsunami Jepang dan Epidemiologi Bencana

Gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter pada 11 Maret 2011 pada pukul 14.46 waktu setempat di pantai timur Jepang menyebabkan terjadinya gelombang tsunami yang memporak-porandakan sebagian wilayah Jepang. Gempa Jepang tepatnya di daerah Hyuga-nada terjadi di 31,8 LU dan 132,0 BT, berkedalaman 10 kilometer di bawah laut. Korban gempa dan tsunami berdasarkan sumber Badan Kepolisian Nasional Jepang hinga Rabu (23/3) mencapai total 24.124 orang dengan rincian sebanyak 9.408 orang telah dikonfirmasi tewas, sedangkan 14.716 resmi terdaftar sebagai hilang dan 2.746 orang lainnya terluka.
Gempa 11 Maret 2011 di Jepang merupakan bencana alam paling dahsyat sejak gempa besar Kanto pada 1923. Gempa Kanto 1923 menelan korban kematian sebanyak 142 ribu orang, sementara korban yang masih hidup sebanyak ratusan ribu orang terpaksa mengungsi dan berlindung di berbagai fasilitas evakuasi yang disediakan pemerintah setempat ketika itu. Pihak lain mengatakan bahwa gempa 11 Maret 2011 itu adalah gempa kelima terbesar di Jepang sejak 1900-an.
Di kawasan pantai Miyagi, gelombang tsunami setinggi 4 meter. Akibat gempa, dilaporkan terjadi kebakaran kilang minyak di Ichihara. Di sepanjang pantai timur Pulau Honshu, dilaporkan (13 Maret 2011) sekitar 12.250 rumah dan bangunan lainnya hancur dan rusak akibat gempa dan sedikitnya 2.400 rumah tersapu oleh tsunami, sementara lebih dari 100 rumah lagi terbakar serta 60 kasus tanah longsor. Korban selamat kini berada di pengungsian yang tersebar di sekitar 2.300 tempat penampungan sekitar lebih dari 315.000 orang.
Penanganan Korban
Sebagai negara yang telah memiliki prosedur tetap dalam penanganan bencana, ketika terjadi gempa 11 Maret lalu, Pemerintah Jepang melalui Perdana Menteri Naoto Kan mengambil langkah cepat dalam merespon gempa-tsunami dengan langsung memerintah delapan pesawat militer segera terbang ke wilayah gempa.
Untuk melindungi masyarakat dari dampak bencana dan meminimalisir jatuhnya korban, pemerintah Jepang pun segera menghentikan kegiatan di kilang minyak, mematikan operasi pembangkit tenaga nuklir, fasilitas transportasi publik dihentikan seperti menutup dua bandara di Tokyo yakni Narita dan Haneda serta perjalanan kereta dihentikan. Penumpang yang sedang dalam perjalanan diminta keluar, dievakuasi serta diminta mengamankan diri.
Meski pemerintah Jepang sudah mematikan operasi pembangkit tenaga nuklir pasca gempa dan tsunami, reaktor nuklir no 4 Fukushima Daichi dilaporkan (16 Maret 2011) meledak dan menyebarkan radiasi nuklir. Kekhawatiran Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada Desember 2008 lalu terhadap gempa dan keamanan reaktor nuklir di Jepang akhirnya menjadi kenyataan.
NHK mengabarkan, ada 56 pasien ini tersebar di rumah sakit di Iwate, Miyagi dan Fukushima. Ketiga wilayah ini merupakan wilayah yang terkena gempa dan tsunami terparah. Survei NHK menyebutkan, di Tagajo, kota di Miyagi, ditemukan 13 pasien dari sekitar 80 pasien akhirnya meninggal di rumah sakit. Sedangkan di rumah sakit di kota Kamaishi, Iwate, sedikit 12 jiwa juga meninggal karena pneumonia. Akibat minimnya perawatan medis di lokasi pelayanan kesehatan korban gempa dan tsunami Jepang, sedikitnya 56 pasien akhirnya meninggal dunia.
NHK, Kamis (17/3/2011) melansir dari sumber kepolisian setempat, akibat bencana gempa bumi dan tsunami di wilayah timur laut Jepang, sedikitnya 5.583 orang tewas dan 9.594 orang masih dikabarkan hilang. Di Prefektur Miyagi, 3.158 orang telah tewas dan 2.243 hilang, sedang di Prefektur Iwate telah mengkonfirmasi 1.824 warga meninggal dunia, dan 3.853 orang masih belum diketahui kabar nasibnya. Sementara di Fukushima, 546 orang meninggal dunia dan lebih dari 3.491 orang hilang. Jumlah orang hilang yang dimaksud hanya mencerminkan jumlah sebenarnya yang terdaftar pada data polisi. Banyak korban tewas karena minimnya fasilitas perawatan kesehatan darurat, keterlambatan pasokan peralatan kesehatan dan juga pemadaman listrik yang berkepanjangan.
Seorang dokter yang bekerja untuk perawatan darurat didaerah bencana yang diliput NHK mengatakan sebagian besar pasien terpaksa harus dipindahkan ke rumah sakit lainnya atas minimnya fasilitas rumah sakit. Dokter itu juga merekomendasikan staf khusus medis harus dikirim ke daerah untuk membantu rumah sakit lokal untuk merawat para pasien. Ini bertujuan agar tidak banyak lagi pasien yang meninggal karena keterbatasan peralatan, perlengkapan dan bantuan medis di rumah sakit.
Epidemiologi Bencana
Disiplin ilmu kesehatan yang kerap digunakan dalam penanganan pasca bencana adalah epidemiologi bencana. Pendekatan epidemiologi bencana menggunakan data-data lapangan didaerah bencana untuk dapat menjadi bahan pelajaran dalam prosedur penanganan korban sebagai faktor risiko. Pasca bencana, epidemiologi lapangan berperan mengklasifikasi para korban cidera dan meninggal serta dapat mengestimasi angka kematian dari total korban bencana.
Dari hasil studi epidemiologi lapangan, dapat diketahui faktor risiko yang berhubungan dengan bencana gempa dan tsunami. Misalnya seberapa besar orang yang berada pada bangunan bertingkat terhadap risiko cidera atau meninggal dengan Odds ratio. Demikian pula dapat dibandingkan antara seberapa besar orang yang berada dalam bangunan kayu terhadap risiko cidera atau meninggal dibandingkan dengan orang yang berada didalam bangunan batu, dan sebagainya.
Biasanya dari hasil studi Epidemiologi Bencana, akan didapatkan pelajaran dari suatu kasus bencana sehingga dapat dilakukan pencegahan dengan mengetahui faktor risikonya. Apabila faktor risikonya adalah bangunan batu atau bangunan kayu, maka cara pencegahan adalah perencanaan konstruksi bangunan yang diestimasi tahan terhadap gempa dan tsunami, pembuatan aturan perencanaan bangunan gedung, atau berbagai formulasi perencanaan teknis konstruksi lainnya.

31 Maret 2011 Posted by | Uncategorized | , , , , | 1 Komentar

Produk Pangan Impor Jepang Ancam Kesehatan Masyarakat

Menyikapi wacana produk pangan impor asal Jepang pasca ledakan nuklir di Fukushima Daichi akibat gempa 11 Maret 2011 lalu, pemerintah tidak satu pendapat. Badan POM menyatakan wajib disertai dengan Sertifikat Bebas Radioaktif dari lembaga yang berwenang di negara asal sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi produk pangan impor setelah tanggal 11 Maret 2011. Dari catatan Badan POM, produk pangan olahan Jepang yang beredar di pasaran antara lain roti dan makanan ringan, bumbu penyedap, kecap, permen, dan mie instan. Sikap Badan POM sejalan dengan Kementerian Pertanian (Kemtan) mempersyaratkan pengujian terhadap produk impor dari Jepang untuk memastikan tidak terkontaminasi oleh cemaran radiasi.
Sementara Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih kepada pers usai sidang kabinet paripurna di kantor Presiden, Kamis sore (24/3) menjamin produk pangan impor dari Jepang di Indonesia saat ini masih aman dikonsumsi. Demikian pula dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, Nus Nuzulia Ishak Jumat (25/3/2011) meminta masyarakat tidak khawatir atas produk pangan asal Jepang.
Sikap pemerintah Indonesia berbeda dengan sikap pemerintah negara lain dalam melindungi warganya dari bahaya radiasi nuklir pada produk pangan seperti Korea Selatan, Hongkong, Thailand, Singapura dan Philiphina. Misalnya pemerintah Filipina melarang impor makanan dari hewan yang berasal dari Jepang khususnya produk yang berasal dari wilayah yang terpapar bahan radioaktif yakni wilayah Fukushima, Ibaraki, Tochigi, dan Gunma. Produk makanan yang paling banyak diimpor Filipina dari Jepang adalah sayuran, apel, dan pir. Sikap pemerintah Filipina berdasar pada temuan Institut Penelitian Nuklir Filipina adanya bahan radioaktif isotop yang diduga berasal dari Jepang.
Sementara pemerintah Singapura dan Thailand secara random akan melakukan tes pada produk makanan impor dari Jepang untuk mengecek kemungkinan kontaminasi radiasi. Produk pangan yang diprioritaskan di cek adalah makanan segar dan produk segar, termasuk sayuran dan buah. Langkah Thailand ini ditempuh sehari setelah Singapura mengumumkan, pihaknya ingin memastikan bahwa makanan yang diimpor dari Jepang bebas radiasi. Badan pengawas makanan Singapura, AVA (Agri-Food and Veterinary Authority of Singapore) tengah melakukan pengujian terhadap produk-produk pangan dari Jepang (arrahmah.com).
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Sabtu (19/3/2011) mengungkapkan produk makanan dan produk susu dipastikan tercemar radiasi nuklir. Kontaminasi yodium radioaktif terdapat di produk-produk makanan yang berada dekat pembangkit nuklir yang rusak dihantam gempa dan tsunami. Meskipun yodium radioaktif memiliki waktu hidup yang singkat sekitar delapan hari dan umumnya secara alami dalam hitungan minggu, ada resiko jangka pendek untuk kesehatan manusia jika yodium radioaktif dalam makanan diserap ke dalam tubuh manusia (tribunnews.com).
Pemerintah Jepang menyatakan paparan radiasi ini bisa mengancam kesehatan manusia dan mengakui adanya radiasi pada produk pangan. Sekretaris Kabinet Yukio Edano mengatakan tingkat radiasi dalam bayam dan susu dari peternakan di Fukushima Dai-ichi kompleks nuklir ditemukan melebihi ambang batas normal. Pengujian lebih intensif sedang dilakukan pada makanan lain. Jika tes menunjukkan kontaminasi lebih lanjut, maka pengiriman makanan dari daerah tersebut akan dihentikan. Daerah Fukushima dikenal sebagai daerah pertanian yang memasok melon, padi dan buah persik ke sebagian besar Jepang, sehingga dengan adanya pencemaran, maka dapat mempengaruhi persediaan makanan untuk bagian besar dari Jepang. Tingkat Yodium di bayam melebihi batas aman, tiga sampai tujuh kali. Pengujian susu dilakukan pada Rabu, dan terdeteksi sejumlah kecil yodium 131 dan cesium 137 (ibid.).
Associated Press melaporkan otoritas Jepang mengatakan bahwa produk makanan di beberapa prefektur di wilayah timur laut yang terkena gempa terkontaminasi oleh radiasi. Pemerintah Jepang mengatakan pada hari Minggu (20/3) bahwa substansi radioaktif telah ditemukan dalam susu dan bayam yang diproduksi di pertanian di Ibaraki, 133 km dari pembangkit nuklir Fukushima. Departemen Kesehatan Jepang mengumumkan kontaminasi telah ditemukan di perternakan di Fukushima, Chiba, Gunma dan prefektur Tochigi, tetapi menyatakan tingkat radiasi dalam sayuran dan susu tidak menimbulkan ancaman langsung terhadap kesehatan.
Negara Jepang merupakan salah satu mitra dagang Indonesia di dalam perdagangan internasional. Data tahun 2010, ada 650 frekuensi dengan volume sebesar 689.386 ton atau sebesar 0,05 persen dari total importasi produk pangan segar ke Indonesia berasal dari negara Jepang. Jenis produk pangan asal Jepang adalah daging dan kulit hewan, serta jenis produk segar asal tumbuhan (PSAT) berupa buah, sayur, dan seralia. Bahan makanan mentah yang biasanya diimpor dari Jepang adalah ikan, sayuran, dan udang. Sementara Menko Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan produk makanan impor Jepang hanya sekira tiga persen dari keseluruhan produk makanan yang diimpor Indonesia. Persentase tersebut merujuk kepada sekira 1.300 jenis makanan olahan produksi Jepang dari sekira 42 ribu jenis makanan olahan yang diawasi BPOM.
Sebenarnya Indonesia sudah lama memiliki peraturan tentang pengawasan cemaran radiasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 0047/B/II/87 tentang Keharusan Menyertakan Sertifikat Kesehatan Dan Sertifikasi Bebas Radiasi Untuk Makanan Impor. Peraturan tersebut mengatur produk pangan seperti susu dan hasil produk susu, buah dan sayuran segar maupun yang diolah, ikan dan hasil laut lainnya segar maupun terolah, daging dan produk daging, air mineral, serealia, termasuk tepung jagung dan barley. Sementara untuk keperluan ekspor ke negara-negara Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Serikat, produk pangan dari Indonesia terlebih dahulu dilakukan pengujian laboratorium Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). BATAN memiliki kewenangan mengeluarkan sertifikat bebas radiasi baik untuk pangan segar maupun olahan. Pemerintah Indonesia juga sudah berpengalaman dengan pengawasan produk pangan ketika terjadi peristiwa meledaknya reaktor nuklir Chernobyl di Uni Sovyet (sekarang Ukraina).
Ancaman Kesehatan
Produk makanan impor Jepang bisa berdampak pada kesehatan. Berdasarkan keterangan operator PLTN Fukushima Daiichi, Tokyo Electric Power Co, dampak radiasi nuklir sudah terdeteksi pada pukul 08.31 meningkat menjadi 8.217 microsievert dalam 1 jam, dari 1.941 mikrosievert pada 40 menit sebelumnya.
Secara alami, tubuh manusia memiliki mekanisme untuk melindungi diri dari kerusakan sel akibat radiasi maupun zat kimia berbahaya lainnya. Karena itu, dampak radiasi pada seseorang atau masyarakat akan berbeda tingkatannya: ada yang yang baru terpapar langsung merasakan dampaknya, ada pula dalam jangka waktu lama baru terasakan dampak radiasi. Faktor seberapa dekat dan seberapa lama terpapar radiasi akan sangat berpengaruh pada dampak bagi kesehatan seseorang.
Dampak radiasi nuklir pada tubuh melalui produk pangan yang dikonsumsi terlihat pada gejala mual-muntah, diare, demam, adalah dampak jangka pendek hingga berakhir dengan kematian secara mendadak. Dampak jangka panjang biasanya akibat tingkat radiasi yang rendah namun bisa lebih berbahaya tidak disadari dan tidak diantisipasi hingga bertahun-tahun. Gejala-gejala itu disebut dengan Acute Radiation Syndrome (ARS). Semakin tinggi tingkat radiasi nuklir pada produk pangan yang dikonsumsi, makin cepat munculnya gejala ARS. Ketika itu ancaman kematian semakin besar akan terjadi.
Meski terjadi potensi kebocoran zat radioaktif di salah satu pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima, nampaknya tidak separah seperti kebocoran nuklir di Chernobyl, Rusia. Menurut Naoto Sekimura, seorang profesor dari Universitas Tokyo, reaktif nuklir Fukushima memang kehilangan daya dukung pendinginan meski menaikkan suhu tetapi akan menghentikan proses reaksi (kompas.com). Berarti ancaman kesakitan dan kematian pun akan relatif kecil dibanding korban massal akibat radiasi di Chernobyl.

31 Maret 2011 Posted by | Uncategorized | , , , , | Tinggalkan komentar