Blog Yanti Gobel

Ilmu dan Amal Padu Mengabdi

Ponari, Sebuah Fenomena Kesehatan Masyarakat

Sepanjang awal tahun 2009, berita media kembali berpusat pada wilayah Jombang, Jawa Timur. Bila tahun 2008 lalu, dihebohkan oleh penemuan mayat korban dari pembantaian pemuda Jombang bernama Ferry Idham Heriansyah (Ryan), kali ini dihebohkan oleh kehadiran dukun cilik bernama Muhammad Ponari (9 tahun) dari Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang. Ponari sendiri masih duduk dibangku Kelas III SDN Balongsari I.
Dampak langsung secara sosial-ekonomi sangat terasa bagi masyarakat Desa Balongsari, Jombang bak mendapat “durian runtuh”. Bila sebelumnya desa tersebut termasuk salah satu desa tertinggal di Jombang, secara drastis berubah menjadi desa maju akibat ribuan orang berbondong-bondong ke desa itu untuk berobat pada “dukun” cilik. Kemajuan desa itu berkat dorongan kontribusi sukarela para pendatang. Selama tiga pekan pertama Ponari berpraktek, diperkirakan telah mencapai angka setengah milyar rupiah terkumpul pada panitia dukun cilik. Rupanya panitia memakai sistem kupon untuk melayani “pasien” Ponari yang ribuan per hari dengan nominal Rp 2.000 per lembar dan terakhir dinaikkan menjadi Rp 5.000 per lembar, namun bisa menjadi Rp 20.000 per lembar di tangan calo. Penjualan kupon dilakukan di Balai Desa Balongsari.
Sedang dampaknya secara ekonomi bagi masyarakat sekitar dapat berupa biaya parkir kendaraan, penjualan kebutuhan makan-minum bagi pendatang, dan kebutuhan lainnya yang disediakan masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah biaya parkir mobil sebesar Rp 10.000 dengan pendatang sekitar 8.000 orang, maka per harinya bisa terkumpul Rp 80 juta. Belum lagi kesempatan yang dimanfaatkan oleh sejumlah penerbit untuk mempublikasikan keberadaan Ponari melalui buku dengan menjual terbitannya seharga Rp 5.000 dan laku sebanyak 20 buah per hari.

Efek Placebo
Dari sudut pandang kedokteran, pengobatan ala Ponari hanya mengandalkan efek placebo. Setelah meneguk air, ada orang yang langsung merasakan kesembuhan, padahal penyakitnya belumlah hilang secara medis. Padahal secara medis, air yang telah dicelupkan “batu ajaib” Ponari belum tentu steril, karena tidak ada jaminan kebersihan tangan seorang Ponari. Air minum dalam kemasan saja atau air isi ulang tidak selamanya sehat. Pada Efek placebo, pasien Ponari hanya merasakan kenyamanan sesaat, tetapi penyakitnya tidak hilang. Efek placebo juga dapat terjadi pada pasien/penderita yang berobat pada seorang dokter. Pada banyak kasus, seorang penderita merasakan kesembuhan meski belum meminum obat dari dokter. Selain itu, ada pula tempat praktek dokter yang sering bahkan memiliki pasien membludak dan ada pula dokter yang sepi pasien.
Seorang dokter yang sering dikunjungi banyak pasien, biasanya memiliki kemampuan menggabungkan ilmu kedokteran dalam arti “scientific” dan “art”. Pada dokter semacam ini relatif memiliki pasien tetap karena terhinggapi efek placebo. Misalnya ada pasien sudah merasa sembuh sebelum mengunjungi dokter karena sudah merasa cocok dengan sang dokter.
Pada beberapa kasus yang diberitakan media, ternyata pengobatan Ponari tidaklah manjur. Misalnya penyakit yang diderita Dimas (3,5), warga Kecamatan Ngusikan meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah Jombang akibat radang otak yang sangat parah. Padahal sebelumnya Dimas sudah mendapatkan pengobatan dari Ponari, berdasarkan pengakuan orangtua yang bersangkutan. Bahkan menurut Ketua IDI (Ikatan DOkter Indonesia) Jombang, dr Pudji, sekitar 30 persen pasiennya yang melakukan rawat jalan sudah pernah ke tempat Ponari, tetapi tidak kunjung sembuh sehingga IDI Cabang Jombang menganggap pengobatan ala Ponari tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Berdasarkan informasi dari IDI Jombang menyebutkan rasio jumlah seorang dokter yang melayani 10.000 pasien setempat sudah melewati rasio ideal karena jumlah dokter umum dan spesialis di Kabupaten Jombang telah mencapai 180 orang.
Dalam prosedur kedokteran, sebelum pasien memperoleh pengobatan, seorang dokter yang menanganinya wajib melakukan wawancara dengan pasien (anamesa), kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik berupa rabaan, melihat dan mengetuk tubuh pasien. Bila perlu seorang dokter melakukan pengujian laboratorium (rontgen), baru mendiagnosis penyakit pasien dan dilanjutkan mekanisme pengobatan. Setelah memperoleh pengobatan, sang pasien tidak serta-merta dinyatakan sembuh dari penyakit karena seorang dokter hanya membantu pengobatan, hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Karena itu, sering ditemui seorang yang sudah berobat ke dokter, juga mendatangi ahli pengobatan alternatif atau dukun karena merasa belum memperoleh penyembuhan dari dokter.

Perspektif Kesehatan
Fenomena keberadaan Ponari dari perspektif kesehatan masyarakat dapat diekplorasi dengan melihat persepsi sakit bagi masyarakat awam. Dalam sejarah penanganan penyakit di Nusantara, dukun adalah tempat pengobatan utama tempo dulu sehingga memiliki tempat tersendiri dalam benak masyarakat. Hingga kinipun keberadaan dukun dengan istilah yang diperbaharui menjadi “paranormal atau pengobatan alternatif”, tetap aksis ditengah masyarakat sekalipun pengobatan secara modern dengan ilmu kesehatan dan kedokteran yang sudah tergolong demikian maju.
Berdasarkan pengamatan sepintas melalui media, tampaknya para “pasien” dukun cilik Ponari lebih banyak tersugesti oleh keajaiban yang dipancarkan berita dari mulut ke mulut dan melalui pemberitaan media pasca jatuhnya korban tewas akibat berdesak-desakan. Karena sepanjang pemberitaan tidak banyak diketahui publik berapa banyak pasien yang telah berobat pada dukun cilik ini yang berhasil disembuhkan.
Sugesti pada masyarakat juga didorong oleh rasa kurang percaya pada perawatan medis yang membutuhkan prosedur dan mekanisme yang panjang untuk bisa dikatakan sembuh dari suatu penyakit sehingga masyarakat mencari penyelesaian cepat dan mengharapkan datangnya keajaiban. Persepsi masyarakat terhadap datangnya keajaiban tidak lepas dari kepercayaan pada suatu pemahaman dan keyakinan transendental. Kita tahu, bila melalui perawatan medis kontemporer memerlukan waktu yang lama dalam proses penyembuhan, sementara sebagian masyarakat awam menghendaki penyembuhan penyakit yang cepat dan instan, sekalipun jauh dari logika modern.
Pada lain pihak, pilihan pada dukun cilik ini juga didorong faktor ekonomi. Bila berobat pada Ponari yang mengandalkan keajaiban batu, hanya cukup dengan membeli kupon dan sedikit biaya akomodasi atau transportasi, sementara bila melalui pengobatan medis membutuhkan biaya yang jauh lebih besar. Bila tergolong masyarakat miskin, untuk memperoleh layanan medis pada lembaga pelayanan kesehatan formal seperti Puskesmas dan rumah sakit membutuhkan prasyarat dan prosedur berbelit. Hal-hal ini yang menjadi faktor pendorong membludaknya pasien dukun cilik Ponari hingga mencapai sekitar 15.000 ribu pada akhir Februari 2009 lalu.
Saat dunia medis berkembang semakin canggih dengan teknologi super modern, mendorong layanan kesehatan pun menjadi tambah mahal dan semakin tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat yang masih terjebak kemiskinan. Sarana kedokteran yang shopisticated, dengan pemakaian instrumen teknologi tinggi merupakan faktor yang mendorong layanan kesehatan kemahalan dan hight cost. Makin canggih jasa layanan kesehatan yang diberikan, maka makin mahal tarif yang dibebankan kepada pasien untuk mencapai kesembuhan.
Mahalnya tarif medis akibat kian canggihnya teknologi kedokteran bagi sebagian masyarakat berada (baca: kaya) mungkin tidaklah menjadi masalah. Namun lain halnya bagi masyarakat miskin, meningkatnya beban ekonomi bagi masyarakat miskin akibat krisis ekonomi global atau akibat kemiskinan struktural yang terus terjadi turun temurun menyebabkan mereka menganggap bencana bila terkena sakit berat atau kecelakaan karena kebijakan kesehatan tidak terlalu berpihak kepada golongan tidak mampu. Skema layanan kesehatan gratis, jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), atau jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), selama ini hanya pada pelayanan kesehatan dasar saja, sedang bila masyarakat miskin mengalami penyakit akut yang membutuhkan pelayanan lebih, harus rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan melampaui kemampuannya.
Pada beberapa rumah sakit sangat tidak ramah terhadap pasien masyarakat miskin. Misalnya ada rumah sakit yang harus “menodong” calon pasiennya dengan keharusan menyetor uang muka sebagai jaminan sebelum sang pasien mendapatkan perawatan. Bila tidak atau belum menyetor uang muka, maka keberadaan sang pasien didalam rumah sakit akan mendapatkan penjagaan yang ketat dari satuan pengamanan rumah sakit agar tidak melarikan diri bila sudah mendapatkan perawatan medis. Malah tak jarang sang pasien merasa disekap oleh pihak rumah sakit bila biaya perawatan tak kunjung dilunasi.
Inilah wajah kesehatan masyarakat yang ambivalen, antara pelayanan lembaga kesehatan formal yang mahal atau pelayanan dukun tradisional yang murah namun jauh dari jaminan standar medis.
(Fatmah Afrianty Gobel, penulis adalah Ketua Program Studi Kesmas, FKM UMI Makassar)

2 Juni 2009 Posted by | Uncategorized | , | Tinggalkan komentar