Blog Yanti Gobel

Ilmu dan Amal Padu Mengabdi

Memerdekakan Anak dari Bahaya Rokok

Dunia anak-anak semakin dekat dengan rokok. Padahal rokok sangat berbahaya bagi kesehatan anak. Salah satu penyebab kedekatan rokok dengan anak-anak adalah iklan-iklan rokok yang marak, baik dalam media didalam ruang seperti televisi maupun diluar ruang seperti billboard di jalan-jalan protokol.
Televisi adalah salah satu media di dalam ruang yang berperan besar dalam mendorong kebiasaan anak-anak untuk merokok sehingga peraturan penayangan iklan rokok di media televisi diperketat. Namun baru-baru ini, ada dua stasiun televisi (Metro TV dan TV One) menayangkan iklan rokok pada siang hari pada 8 Juli 2009 yang menggunakan tagline “Bakti Lingkungan”. Tayangan iklan rokok pada saat itu sangat jelas memperlihatkan lambang dan tulisan merek rokok yang tertulis hitam pekat dan lebih menonjol daripada tulisan Bakti Lingkungan. Kesan dari penayangan iklan tersebut adalah merek dan lambang rokok, meski image yang berusaha dibangun adalah kepedulian pada lingkungan melalui kesadaran palsu berupa image persahabatan dan keberanian. Namun secara logis, tidak mungkin asap rokok berbakti pada lingkungan, justru berpotensi merusak lingkungan. Maka tak salah bila kejadian tersebut langsung direspon oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang menuntut sekaligus mendukung Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mempermasalahkan iklan rokok yang ditayangkan diluar jam tayang yang diperkenankan yaitu pukul 21.30.
Bila mengacu pada PP Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta, penayangan iklan rokok pada siang hari sangat jelas melanggar Pasal 21 ayat (3). Pada aturan tersebut, iklan rokok hanya diperkenankan ditayangkan oleh lembaga penyiaran radio dan televisi pada pukul 21.30 hingga pukul 05.00 pagi sesuai waktu yang berlaku pada lokasi penyiaran itu berada. Sebagai sanksi bagi pelanggaran PP No 50/2005, lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan dikenakan sanksi administratif berupa denda: bagi jasa penyiaran radio paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Disamping itu, penayangan iklan rokok pada siang hari juga melanggar ketentuan dalam PP Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Pasal yang berpotensi dilanggar adalah Pasal 16 ayat (3). Maksud dari pembatasan jam tayang iklan sebenarnya untuk menghindari anak-anak menjadi perokok pemula, karena iklan-iklan rokok sangat berpengaruh secara langsung maupun tidak lansung pada kebiasaan anak-anak mengkonsumsi rokok.
Pengalaman Negara Maju
Di negara-negara maju yang masyarakatnya relatif lebih berpendidikan dan sadar kesehatan, konsumsi rokok di kalangan masyarakatnya sudah dalam taraf yang sangat rendah. Keadaan tersebut memaksa industri rokok di negara-negara maju mengalami kemerosotan secara perlahan. Menurut dr. Kartono Muhammad (Tobacco Control Support Centre-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia/TCSC-IAKMI) dalam sebuah diskusi di Yayasan Jantung Indonesia Jakarta pada 19 Juni 2009 lalu mengatakan bahwa sejak tahun 1960-an, industri rokok di Amerika Serikat (AS) telah mengalami kemerosotan sampai 20 persen. Penyebab kemerosotan, tak lain karena masyarakat AS sudah sadar tentang kesehatan. Disamping itu, penegakan hukum di AS mendukung masyarakatnya hidup sehat, bila indsutri rokok melakukan kebohongan public mengenai mild dan low tar maka pengadilan akan selalu siap menegakkan hukum.
Kasus rendahnya konsumsi rokok masyarakat AS membuat industri rokok AS meminta bantuan departemen perdagangan AS untuk melakukan ekspor pada negara-negara lain, dan menggunakan WTO untuk “memaksa” negara lain menerima pasar rokoknya. Berkat bantuan pemerintah AS terhadap industri rokoknya, sekarang ekspor rokok AS telah meningkat tiga kali lipat dari US$ 50 juta menjadi US$ 150 juta. Dengan demikian, AS telah “berhasil” mengekspor penyakit ke negara lain, utamanya ke negara-negara berkembang yang masyarakatnya belum sadar kesehatan dan berpendidikan rendah. Sebagai dampaknya, angka kematian di negara-negara berkembang meningkat hingga mencapai 2 juta orang per tahun. Angka kematian ini diprediksi meningkat pada tahun 2020 mencapai 7 juta orang per tahun, sementara di negara maju diprediksi hanya 3 juta orang per tahun.
Untuk kasus Indonesia, meminjam data dr Kartono Muhammad, konsumsi rokok masyarakat Indonesia telah mencapai 250 miliar batang rokok per tahun. Konsumen rokok sebagian besar adalah penduduk miskin yang membelanjakan 12 persen penghasilan bulanannya untuk membeli rokok. Data tahun 2005, diperkirakan ada sejumlah 2.000 hingga 400.000 kasus kematian berhubungan dengan konsumsi tembakau. Dalam konteks itulah, industry rokok AS seperti Philip Morris dan BAT agresif membeli Sampoerna dan Bentoel di Indonesia dan aktif mensponsori sejumlah acara olahraga dan pertunjukan music yang sasarannya adalah kaum anak-anak dan remaja Indonesia.
Pendekatan Kebijakan
Upaya pencegahan peningkatan kasus kematian akibat konsumsi rokok dapat dicegah melalui pendekatan kebijakan sebagai langkah awal. Saat ini di DPR sudah tersimpan dokumen RUU Pengendalian Tembakau yang tak kunjung dibahas. RUU ini dapat menjadi jalan tengah untuk membatasi industri rokok tetapi tidak mengganggu eksistensi petani tembakau.
Namun masalahnya, untuk menunggu pengesahan RUU Pengendalian Tembakau dalam waktu dekat sangat tidak mungkin disebabkan masa bakti anggota DPR sekarang ini akan berakhir pada September 2009. Sikap DPR periode 2004-2009 yang tidak kunjung membahas RUU Pengendalian Tembakau dapat dikategorikan tindakan pengabaian negara (state neglect) terhadap perlindungan rakyat dari ancaman bahaya rokok. Disamping itu, aksi litigasi sejumlah LSM Indonesia terhadap Presiden SBY dan DPR yang meminta ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO justru ditolak oleh pengadilan negeri di Jakarta. Padahal Traktat Internasional ini sudah diratifikasi oleh 192 negara di dunia.
FCTC adalah dokumen yang menyiratkan kemenangan gerakan konsumen dan kesehatan masyarakat dunia yang disahkan pada Mei 2003. FCTC lahir pada masa Gro Harlem Brundtland menjabat Direktur Jenderal WHO. Gro Harlem Brundtland adalah mantan Perdana Menteri Norwegia, negeri yang dikenal penganut paham negara kesejahteraan (welfare state) di bilangan negara-negara Skandinavia. Sebelumnya, gerakan konsumen dan kesehatan dunia juga telah berhasil melahirkan dokumen penting bernama Kode Pemasaran Susu Formula yang ditetapkan WHO dan Unicef pada awal tahun 1980-an dalam era kepemimpinan Halfdan Mahler dari Denmark sebagai Direktur Jenderal WHO. Halfdan Mahler dan Gro Harlem Brundtland sama-sama berasal dari negara Skandinavia yang menganut paham sosialis dan lebih mengedepankan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan pemerintah AS dibawah Barack Obama. Meski sama-sama tidak/belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO, AS telah menerapkan substansi traktat tersebut. Obama berani menandatangani UU Pengendalian Tembakau pada 22 Juni 2009 lalu. Pemerintahan Obama memahami praktik industri rokok AS yang menjerat kaum remaja agar mereka menjadi pecandu nikotin sejak usia dini sehingga secara cepat membuat kebijakan yang dapat melindungi kesehatan rakyatnya. Obama menyadari, lebih dari 400.000 rakyat Amerika meninggal setiap tahun karena penyakit yang berkaitan dengan tembakau serta lebih dari 8 juta rakyat Amerika menderita satu penyakit serius yang disebabkan oleh rokok sehingga membebani anggaran negara sekitar US$ 100 miliar setiap tahun.
Guna meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak, Obama sengaja mengundang empat orang anak mewakili organisasi Campaign for Tobacco Free Kids dalam penandatanganan UU Pengendalian Tembakau. UU tersebut melarang iklan rokok hingga radius 300-an meter dari area sekolah dan tempat bermain anak-anak. Di AS, satu dari lima anak/remaja sudah menjadi perokok sebelum berusia 18 tahun. Pemerintah AS menyadari anak-anak dan remaja telah menjadi target promosi industri rokok yang sangat agresif. Meski tak dapat dilupakan bahwa pada pelobi industry rokok telah menghabiskan miliaran dollar AS untuk lobi dan iklan untuk mengkampanyekan bahwa tembakau tidak mematikan dan mereka tidak membidik anak-anak sebagai sasaran promosi iklan rokok. Nick Naylor, juru bicara Institute of Tobacco Studies adalah pelobi utama industri rokok AS.
Pada momentum Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2009, penulis menggugah nurani para pemimpin negeri ini untuk “memerdekakan anak dari bahaya rokok” dengan maksud lebih meningkatkan kepedulian akan ancaman bahaya rokok pada kesehatan anak . Keberanian pemerintah Obama di AS dapat menjadi pelajaran yang baik pada pemerintahan SBY di Indonesia untuk mempercepat pembahasan RUU Pengendalian Tembakau dan menjauhkan anak-anak dari jerat rokok yang berbahaya bagi kesehatan.

11 Agustus 2009 Posted by | Uncategorized | , | Tinggalkan komentar